SEMACAM KONSEP lah !
Pada dasarnya
ingin berangkat dari kondisi ke-serba kekurang-an, kurang tahu, kurang waktu,
kurang keterampilan, kurang perhatian, kurang dana dan kurang-kurang yang
lainnya. Ditambah lagi, kondisi sekarang yang makin simpang siur (ambiguitas
yang melampaui batas), yang tentunya membingungkan, membuat saya-mungkin kita-
tidak tahu harus berpijak pada apa (tradisi atau sesuatu yang baru) – mungkin
karena kekurang tahuan saya tadi. Tapi, kondisi keserba kekurangan ini coba
saya terjemahkan menjadi sebuah konsep pertunjukan.
TEATER SERBA-KURANG
Pada hakikatnya
teater memang serba kurang. Seperti yang dikemukakan grotowsky (1998:7-8) bahwa
teater dapat ada tanpa make-up, tanpa
kostum, tanpa skenografi, tanpa pentas yang dibagi-bagi, tanpa cahaya dan suara
dan lain-lain. Inilah teater yang disebutnya “teater miskin”. Grotowsky memang
mencanangkan teaternya untuk menentang “teater kaya”, yakni teater sebagai
sintesa dari berbagai disiplin seni lainnya, seperti tari, musik dll. Akhirnya,
tinggallah teater miskin menyisakan aktor dan penonton saja.
Grotowsky
memang memadai untuk itu, setidaknya dalam bukunya Grotowsky (1998:4) mengatakan
bahwa apa yang ia lakukan merupakan buah dari ekperimentasinya dan lagi,
seperti yang ia akui bahwa ia “dibesarkan dalam alam dan pandangan Stanilavsky”
Jadilah Grotowsky praktisi dan teoritisi keater.
Tapi apa
jadinya untuk yang tidak punya kemampuan (pengetahuan/pendidikan /keterampilan)
yang cukup, waktu (untuk melakukan eksperimentasi) yang cukup, modal yang
dimiliki cuma keinginan/nafsu (will) dan sejumlah hasrat untuk bersenang-senang
(desire). Inilah, kupikir, teater yang lebih miskin dari teater miskin.
TEATER VS MASYARAKAT KONSUMER
Bila teater
tradisi begitu terbelenggu oleh magi atau beban spiritual lain dan teater
modern begitu bernafsu menggurui penontonnya, bagaimana dengan teater kita
sekarang, teater yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang dikatakan Yasraf
sebagai masyarakat posindustri/konsumer
(?).
Masyarakat
konsumer oleh Yasraf (1999:143-147) didefinisikan sebagai masyarakat yang gemar
mengkonsumsi barang /jasa sebagai upaya objektivikasi dirinya (ekternalisasi
sekaligus internalisasi) sebagai akibat teralienasinya mereka dari kerja. Dari
definisi Yasraf ini, saya menyimpulkan –mungkin dengan sedikit perbedaan
pendekatan- bahwa masyarakat konsumer adalah masyarakat yang telah lelah
bekerja seharian (dalam alienasinya) dan sore hari (sepulang kerja) mereka berlomba-lomba
mencari hiburan untuk sejenak melupakan (objektivikasi) diri.
Masyarakat konsumer
akhirnya cuma jadi pasar yang potensial untuk segala produk (komoditi) hiburan,
bahkan sekarang informasi jadi hiburan juga (infotainmet). Maka tidak heran
kalau televisi kita isinya hiburan melulu, bahkan meski sebagian orang (yang
bawel) mengeluhkan bahwa televisi kita cenderung tidak mendidik, tokh
masyarakat masih saja asyik nonton tivi tiap hari. Mungkin karena sebagian
mereka tidak punya pilihan hiburan yang lain atau tidak punya uang untuk mencari
pilihan hiburan yang lain atau pula tidak punya waktu untuk sekedar mencari
hiburan lain yang katakanlah sedikit mendidik. Kenyataannya, tivi tetap jadi
media hiburan utama keluarga, bahkan Bambang Sugiharto dalam pengantar buku Cultural dan Comunication-nya John Fiske
menyebut jaman kita ini jaman televisi, semua yang ada di tivi, itu yang “real”
yang lain auh akh elap.
Lalu di mana posisi teater dalam hiruk pikuk masyarakat
konsumer ? Teater selalu berada di pinggiran, terus berkoar-koar
walau tahu jarang yang mau mendengarkan. Jadi, sekaranglah mungkin saatnya
teater buat jadi pahlawan kesiangan. Menyeruak di tengah carut marut kondisi, setidaknya
teater bisa jadi salah satu muara bagi masyarakat konsumer yang kelelahan. Teater
jadi media masyarakat untuk melakukan obejektivikasi (ekternalisasi dan
internalisasi) diri.
Tidak perlu lah
teater menganggap diri lebih baik dari masyarakat “di luaran sana”, atau tuntutan
yang dakik-dakik, teater harus membawa
pesan moral, nilai-nilai filosofis, edukatif dan tetek bengek lainnya utnuk
disajikan pada para penonton. Padahal, mungkin para penonton jauh lebih pintar
dari teater dan para penggiatnya atau mungkin, yang terbanyak, mereka tidak
perduli lagi apakah tontonan yang mereka lihat bermakna atau tidak - saya kadang
nggak ngerti gimana cara tivi menghipnotis keluarga saya hingga mereka khusuk
nonton sinetron Intan padahal sering ngomel-ngomel juga ngikutin jalan
ceritanya yang nyebelin. Kalau teater terus bertahan, tanpa mau
mempertimbangkan kondisi masyarakat sekarang, akhirnya teater nanti cuma jadi
milik para dewa yang hidup di negeri atas awan sana.
Maka teater
yang memberi ruang pada para pekerja dan penikmat teater yang bersahaja yang
sekedar ingin melepaskan lelah dan mencari kediriannya yang hilang di
masyarakat dalam teater adalah jawaban dari pertarungan kita hari ini.
BUKAN METODE
Kata kerja
dalam teater kita adalah kesenangan. Bukan sekedar kesenangan yang menciptakan
lupa (lupa akan beban masalah, lupa tentang dirinya) namun sebuah kondisi yang
mengarah pada objektivikasi diri (meski semu).
Lalu apa metode untuk sampai ke sana ? Dalam khasanah kebudayaan posmodern banyak berseliweran istilah-istilah
yang menjadi kata kunci, di antaranya Intertektualitas,
Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp, schizofrenia dll. Yasraf (1999:233)
mengatakan bahwa konsep-konsep ini memang bukan metode (dalam pemahaman modern).
Namun, setidaknya kita bisa menyelami konsep-konsep, yang Insya Allah
membingungkan, ini untuk menyusun puing-puing kekalahan kita menjadi sebentuk
resistensi terhadap apa saja. Mudah-mudahan.
Bogor, 23 Mei
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar