Sejarah
Kolonialisme Belanda di Indonesia telah mencatat bahwa pendirian Volksraad
merupakan puncak dari desentralisasi yang mulai dilakukan Belanda pada
tahun1903 dan sebagai salah satu manifestasi dari pemberian kesempatan pada
rakyat Indonesia untuk berpartisipasi secara riil dalam pemerintahan. Akan
tetapi, sejarah perkembangan Volksraad ternyatatelah membuktikan bahwa usaha
perubahan yang dilakukan Belanda, dalam kaitannya dengan pembentukan Volksraad,
bukan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia apalagi membawa Indonesia pada
kemerdekaan penuh, melainkan hanya sebagai alat untuk memuaskan elemen-elemen
radikal di kalangan bangsa Indonesia.
Kemunculan
gerakan yang bersifat modern pada permulaan aban ke XX menimbulkan kesadaran
pada Pemerintah Kolonial Belanda bahwa tidak selamanya Hindia Belanda
terisolasi dari perkembangan demokratisasi di dunia selama ini. Untuk menampung
dampak dari gerakan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda kemudianmembentuk
semacam lembaga demokrasi yang disebut volksraad.
Volksraad
dibuka secara resmi oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum pada tanggal 18
Mei 1918. Dalam pidato pembukaannya Stirum mangatakan bahwa ada kemungkinan
hari depan yang gemilang untuk lembaga ini. Koningsberger, ketua pertama
Volksraad, juga mengatakan hal serupa. Ia mengungkapkan perasaannya bahwa
mudah-mudahan Volksraad cukup memuaskan walaupun belum sempurna dimata
kebanyakan bangsa Indonesia (Nagazumi, 1980:234) dari kedua pembicara tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa akan terdapat perubahan-perubahan pada Volksraad
dimasa mendatang. Namun, hingga jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang tahun
1942, volksraad tidak memiliki kekuasaan apa-apa.
Sejak awal didirikannya,
volksraad telah banyak menimbulkan pro dan kontra, baik dari kalanga kaum pergerakan kebangsaan Indonesia maupun kaum
Kolonialis Belanda. Kaum pergerakan indonesia terpecah ke dalam dua kelompok,
yakni kelompok kooperasi dan nonkooperasi. Kaum kooperasi lebih menaruh harapan
besar terhadap keberadaan Volksraad. Mereka mengharapkan suatu saat Indonesia
akan memperoleh kemerdekaan dengan cara-cara yang konstitusional. Berbeda
dengan pandangan kelompok kooperasi, kelompok nonkooperasi, tidak mempercayai
keberadaan volksraad. Para pemimpin pergerakan Indonesia yang muda dan
berpikiran radikal mengejek Volksraad sebagai lelucon Pemerintah Kolonial
Belanda. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Semaun dan Sosrokardono sejak awal
menentang keras keterlibatan Sarekat Islam dan Volksraad (Shiraisi, 1999: 128)
Dikalangan
kaum Kolonialis Belanda perdebatan mengenai keberadaan Volksraad
mempolarisasikan mereka ke dalam dua kelompok, yakni kelompok konservatif dan
kelompok progresif. Perbedaan pendapat diantara kelompok-kelompok itu terutama
dipengaruhi oleh perbedaan pandangan mereka mengenai hubungan antara Barat dan
Timur atau Belanda dan Indonesia.
Kartodirjo
(1999: 50-54) mengatakan bahwa golongan-golongan seperti kaum Ethis,
Asosiasionis dan beberapa partai agama serta para pengusaha dapat dikelompokkan
sebagai kaum konservatif. Secara umum kelompok ini memandang bahsa bangsa
Indonesia belum cukup matang untuk sebuah kemerdekaan. Maka mereka mendukung
ide Paternalisasi atau politik perlindungan. Pendirian Vaderlandsche Club (VC),
yang merupakan front kulit putih, maupun pandangan-pandang Colijn dan Treub dapat dilihat sebagai
manifestasi dari arus konservatisme di dalam politik Kolonial Belanda. Kaum
konservatif sangat memandang rendah pada kekuatan Nsionalisme dan menginginkan
Hindia Belanda kembali pada sistem otokratis.
Stuwgroep dan Leidsche
Groep dapat digolongkan sebagai kelompok yang lebih progresif, terutama
dalam pandangannya mengenai pemberian status otonomi kepada Hindia Belanda
(Indonesia). Kartodirjo (1999: 55) mengatakan nama Stuwgroep diambil dari nama sebuah majalah yang bernama De Stuw. Golongan ini terdiri atas kaum
intelektual Eropa yang sebagian besar
menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan kolonial dan memperoleh
pendidikan di Leiden. Mereka menginginkan bahwa politik emansipasi pada
akhirnya harus menghasilkan otonomi di dalam lingkungan commonwealth Hindia
yang merdeka
Leidsche Groep memiliki pandangan yang tidak
jauh berbeda dengan Stuwgroep. Kelompok
ini mendukung politik yang bertujuan memberi status otonomi kepada Hindia
Belanda (Indonesia) dan mendasarkan diri pada demokrasi dalam arti yang luas. Leidsche Groep Mengusahakan pengertian
kolonial berlandaskan fundamen-fundamen timur (Kartodirjo, 1999: 56)
Perkembangan
Volksraad menarik untuk dikaji terkait dengan beberapa alasan. Pertama adanya
ketidak sesuaian anatar janji yang diucapkan Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum pada upacara pembukaan Volksraad dengan kondisi riil. Kedua terdapat perbedaan
pendapat di kalangan kaum Kolonialis tentang keberadaan Volksraad, yakni antara
kelompok Konservatif dengan kelompok yang lebih progresif (Kelompok Leiden).
Perbedaan diantara kelompok-kelompok tersebut terutama berkaitan dengan
cita-cita dan kepentingan masing-masing. Tiga, di antara kaum pergerakan
kebangsaan Indonesia pun terdapat perbedaan pendapat tentang keberadaan
Volksraad. Golongan kooperasi memandang perjuangan dalam merebut kemerdekaan
tidak dapat dilakukan dengan car-cra parlementer, maka Volksraad tidak dapat
diharapkan sebagai kendaraan perjuangan. Di sisi lain, golongan kooperasi tetap
berusaha berjuang dengan cara-cara parelementer. Keempat, dengan mengamati
perkembangan Volksraad sebagai parlemen Hindia Belanda, dapat diketahui sejauhmana
Pemerintah kolonial Belanda menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di Hindia
Belanda (Indonesia)
DAFTAR
PUSTAKA
Kartodirjo,
Sartono. 1999. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. PT Gramedia: Jakarta
Nagazumi,
Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme
Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta
Poesponegoro,
Marwati D dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia V. Balai Pustaka: Jakarta
Ricklefts,
MC. 1992. Sejarah Indonesia Modern.
Terjemahan Drs. Dhamono Hardjono. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Shiraishi,
Takashi. 1997. Zaman Bergerak.
Terjemahan Hilmar Farid. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar