• Sejarah Perkembangan Volksraad (1918-1942)

     


    Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia telah mencatat bahwa pendirian Volksraad merupakan puncak dari desentralisasi yang mulai dilakukan Belanda pada tahun1903 dan sebagai salah satu manifestasi dari pemberian kesempatan pada rakyat Indonesia untuk berpartisipasi secara riil dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejarah perkembangan Volksraad ternyatatelah membuktikan bahwa usaha perubahan yang dilakukan Belanda, dalam kaitannya dengan pembentukan Volksraad, bukan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia apalagi membawa Indonesia pada kemerdekaan penuh, melainkan hanya sebagai alat untuk memuaskan elemen-elemen radikal di kalangan bangsa Indonesia.

    Kemunculan gerakan yang bersifat modern pada permulaan aban ke XX menimbulkan kesadaran pada Pemerintah Kolonial Belanda bahwa tidak selamanya Hindia Belanda terisolasi dari perkembangan demokratisasi di dunia selama ini. Untuk menampung dampak dari gerakan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda kemudianmembentuk semacam lembaga demokrasi yang disebut volksraad.

    Volksraad dibuka secara resmi oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum pada tanggal 18 Mei 1918. Dalam pidato pembukaannya Stirum mangatakan bahwa ada kemungkinan hari depan yang gemilang untuk lembaga ini. Koningsberger, ketua pertama Volksraad, juga mengatakan hal serupa. Ia mengungkapkan perasaannya bahwa mudah-mudahan Volksraad cukup memuaskan walaupun belum sempurna dimata kebanyakan bangsa Indonesia (Nagazumi, 1980:234) dari kedua pembicara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa akan terdapat perubahan-perubahan pada Volksraad dimasa mendatang. Namun, hingga jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang tahun 1942, volksraad tidak memiliki kekuasaan apa-apa.

    Sejak awal didirikannya, volksraad telah banyak menimbulkan pro dan kontra, baik dari kalanga  kaum pergerakan kebangsaan Indonesia maupun kaum Kolonialis Belanda. Kaum pergerakan indonesia terpecah ke dalam dua kelompok, yakni kelompok kooperasi dan nonkooperasi. Kaum kooperasi lebih menaruh harapan besar terhadap keberadaan Volksraad. Mereka mengharapkan suatu saat Indonesia akan memperoleh kemerdekaan dengan cara-cara yang konstitusional. Berbeda dengan pandangan kelompok kooperasi, kelompok nonkooperasi, tidak mempercayai keberadaan volksraad. Para pemimpin pergerakan Indonesia yang muda dan berpikiran radikal mengejek Volksraad sebagai lelucon Pemerintah Kolonial Belanda. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Semaun dan Sosrokardono sejak awal menentang keras keterlibatan Sarekat Islam dan Volksraad (Shiraisi, 1999: 128)

    Dikalangan kaum Kolonialis Belanda perdebatan mengenai keberadaan Volksraad mempolarisasikan mereka ke dalam dua kelompok, yakni kelompok konservatif dan kelompok progresif. Perbedaan pendapat diantara kelompok-kelompok itu terutama dipengaruhi oleh perbedaan pandangan mereka mengenai hubungan antara Barat dan Timur atau Belanda dan Indonesia.

    Kartodirjo (1999: 50-54) mengatakan bahwa golongan-golongan seperti kaum Ethis, Asosiasionis dan beberapa partai agama serta para pengusaha dapat dikelompokkan sebagai kaum konservatif. Secara umum kelompok ini memandang bahsa bangsa Indonesia belum cukup matang untuk sebuah kemerdekaan. Maka mereka mendukung ide Paternalisasi atau politik perlindungan. Pendirian Vaderlandsche Club (VC), yang merupakan front kulit putih, maupun pandangan-pandang  Colijn dan Treub dapat dilihat sebagai manifestasi dari arus konservatisme di dalam politik Kolonial Belanda. Kaum konservatif sangat memandang rendah pada kekuatan Nsionalisme dan menginginkan Hindia Belanda kembali pada sistem otokratis.

    Stuwgroep dan Leidsche Groep dapat digolongkan sebagai kelompok yang lebih progresif, terutama dalam pandangannya mengenai pemberian status otonomi kepada Hindia Belanda (Indonesia). Kartodirjo (1999: 55) mengatakan nama Stuwgroep diambil dari nama sebuah majalah yang bernama De Stuw. Golongan ini terdiri atas kaum intelektual Eropa yang sebagian besar menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan kolonial dan memperoleh pendidikan di Leiden. Mereka menginginkan bahwa politik emansipasi pada akhirnya harus menghasilkan otonomi di dalam lingkungan commonwealth Hindia yang merdeka

    Leidsche Groep memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Stuwgroep. Kelompok ini mendukung politik yang bertujuan memberi status otonomi kepada Hindia Belanda (Indonesia) dan mendasarkan diri pada demokrasi dalam arti yang luas. Leidsche Groep Mengusahakan pengertian kolonial berlandaskan fundamen-fundamen timur (Kartodirjo, 1999: 56)

    Perkembangan Volksraad menarik untuk dikaji terkait dengan beberapa alasan. Pertama adanya ketidak sesuaian anatar janji yang diucapkan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada upacara pembukaan Volksraad dengan kondisi riil. Kedua terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum Kolonialis tentang keberadaan Volksraad, yakni antara kelompok Konservatif dengan kelompok yang lebih progresif (Kelompok Leiden). Perbedaan diantara kelompok-kelompok tersebut terutama berkaitan dengan cita-cita dan kepentingan masing-masing. Tiga, di antara kaum pergerakan kebangsaan Indonesia pun terdapat perbedaan pendapat tentang keberadaan Volksraad. Golongan kooperasi memandang perjuangan dalam merebut kemerdekaan tidak dapat dilakukan dengan car-cra parlementer, maka Volksraad tidak dapat diharapkan sebagai kendaraan perjuangan. Di sisi lain, golongan kooperasi tetap berusaha berjuang dengan cara-cara parelementer. Keempat, dengan mengamati perkembangan Volksraad sebagai parlemen Hindia Belanda, dapat diketahui sejauhmana Pemerintah kolonial Belanda menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di Hindia Belanda (Indonesia)

     

     

     

     

     

     

     

     

     

    DAFTAR PUSTAKA

     

    Kartodirjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. PT Gramedia: Jakarta

     

    Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta

     

    Poesponegoro, Marwati D dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Balai Pustaka: Jakarta

     

    Ricklefts, MC. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Drs. Dhamono Hardjono. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

     

    Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak. Terjemahan Hilmar Farid. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta

     

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Saya adalah Guru Sejarah di Sekolah Menengah Atas, tertarik pada Kajian Sejarah, Teater dan Sastra serta ilmu-ilmu Humaniora