• Batu Geblug dan Proses Islamisasi di Bogor

     

    Keberadaan Bogor sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran di masa lalu telah lama dipercaya oleh masyarakat Sunda khususnya, maupun masyarakat luas pada umumnya. Sejak Scipio untuk pertama kalinya melakukan penjelajahan ke bekas reruntuhan istana Pajajaran pada tanggal 1 September 1687, penelusuran dan penggalian terhadap sejarah Kerajaan Pajajaran terus dilakukan sampai sekarang.  Hal-hal terkait proses keruntuhan kerajaan Pajajaran, kehidupan masyarakat pada masa Pajajaran sampai proses masuk dan berkembangnya agama Islam di bogor masih terus ditelisik oleh pihak-pihak yang peduli dengan eksistensi dan sejarah Bogor.

    Keberadaan Bogor sebagai pusat kerajaan Pajajaran dapat dibuktikan dengan banyak ditemukannya peninggalan baik berupa Prasasti, Petilasan maupun Legenda-Legenda yang masih hidup dan berkembang di masyarakat. Peninggalan-peninggalan tersebut banyak tersebar di wilayah Bogor baik Kota maupun Kabupaten. Peninggalan-peninggalan tersebut di antaranya terdapat di Kecamatan Cijeruk.

    Kecamatan cijeruk merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang letaknya sangat dekat dengan tempat yang diyakini sebagai istana Pakuan Pajajaran, yaitu wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Batu tulis. Di kecamatan Cijeruk terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang dihubungkan dengan keberadaan kerajaan Pajajaran atau tokoh dari kerajaan Pajajaran, yakni Prabu Silihwangi dan Raden Kean Santang. Situs-situs tersebut antara lain :

    1.      Situs Batu Aseupan

    Terletak di Desa Pasir tengah RT 04 RW 05 Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk. Situs ini berupa batu berbentuk aseupan (tempat menanak nasi khas orang Sunda) yang dikaitkan dengan keberadaan Prabu Siliwangi dari Kerajaan pajajaran.

    2.      Situs Batu Korsi

    Terletak di Desa Pasir tengah RT 04 RW 05 Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk.

    Situs ini berupa batu berbentuk korsi yang dikaitkan dengan keberadaan Prabu Siliwangi dari Kerajaan pajajaran.

     

    3.      Situs Goa Langkop

    Terletak di Desa Tapos RT 02 RW 04 Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk. Situs ini berupa goa yang berukuran sedang yang dapat dimasuki kurang lebih oleh 14 orang. Situs ini yang dikaitkan dengan keberadaan Prabu Siliwangi dari Kerajaan pajajaran.

    4.      Situs Karamat Awas Paninggal

    Terletak di Desa Cijulang RT 04 RW 01 Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk. Situs ini berupa tanah/lokasi yang dikaitkan dengan keberadaan Pajajaran setelah masuknya Islam.

    5.      Batu Geblug

    Terletak di Kampung Geblug Desa Palasari RT 01 RW 04 Kecamatan Cijeruk. Peninggalan ini berupa Batu bermotif yang diyakini keberadaannya terkait dengan Prabu Siliwangi dan raden Kean Santang.

    Dari 5 (lima) situs di Kecamatan Cijeruk tersebut, hanya Batu Geblug yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Padahal dilihat dari fisiknya, situs batu  Geblug ini lebih “menarik”  jika dibandingkan dengan situs-situs lainnya. Batu Geblug memiliki motif di badan batu, sedang situs-situs lain tidak.

    Selain itu letak Batu Geblug  yang berada di tengah kawasan pemukiman padat penduduk menjadikan situs ini rawan rusak, sehingga memerlukan perhatian dan perawatan yang lebih baik dari pada yang sudah dilakukan sekarang.

     

    1.      Prabu Siliwangi dan Raden Kean Santang

    Meski situs batu Geblug ini belum dinyatakan sebagai cagar budaya peninggalan kerajaan Pajajaran, namun masyarakat sekitar meyakini bahwa keberadaan Batu Geblug di wilayah mereka terkait dengan kerajaan Pajajaran atau terkait dengan tokoh dari kerajaan tersebut yakni, Prabu Siliwangi dan raden Kean Santang.

    Cerita/Legenda yang berkembang terkait dengan Batu Geblug ini seperti yang dituturkan oleh Bapak Eman, salah satu warga di Kampung Geblug. Cerita dimulai ketika Prabu Siliwangi mengadakan sayembara kepada siapa saja yang dapat mengeluarkan darah dari tubuh raden Raden Kean Santang, putranya. Sebab, dengan kesaktian yang dimiliki Raden Kean Santang, ia belum pernah melihat darah yang keluar dari tubuhnya. Sayembara ini berarti orang yang mengikutinya harus bertarung dengan Raden Kean Santang   sampai dapat melukai dan keluar lah darah dari tubuh Raden Kean Santang.

    Singkat cerita, di tanah Sunda tidak ada satupun orang yang berani mengikuti sayembara tersebut. Namun, ada seorang tua yang berkata kepada Raden Kean Santang, bahwa ada seorang sakti yang dapat mengalahkan Raden Kean Santang   dan mengeluarkan darah dari tubuhnya. Raden Kean Santang   bertanya kepada orang tua tersebut siapakah orang sakti itu, orang tua tersebut menjawab ia adalah Sayidina Ali. Raden Kean Santang  penasaran dan bertanya, dimanakah ia dapat menemui Sayidina Ali. Orang tua itu menjawab bahwa Sayidina Ali tinggal di negeri yang sangat jauh melintasi gunung dan lautan, akan tetapi orang tua itu bersedia mengantarkan Raden Kean Santang  jika Raden memang ingin menemuinya..

    Berangkat lah Raden Kean Santang ditemani orang tua itu untuk menemui Sayidina Ali. Singkat cerita Raden Kean Santang sampai di pinggir pantai dengan hamparan pasir yang luas. Mereka berdua beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah beristirahat keduanya lalu melanjutkan perjalanan, namun ditengah perjalanan orang tua yang mengantar Raden Kean Santang  berkata bahwa ia telah lalai dan meninggalkan tongkat yang selama ini ia gunakan untuk berjalan di tempat mereka beristirahat tadi. Orang tua itu meminta tolong kepada Raden Kean Santang   untuk mengambilkan tongkatnya.

    Raden Kean Santang segera berlari ke tempat mereka beristirahat tadi dan melihat tongkat orang tua itu tertancap di tanah. Raden Kean Santang segera mencabut tongkat tersebut, namun ia kaget karena tongkat itu ternyata tidak mudah untuk dicabut. Raden Kean Santang mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut tongkat tersebut. Bahkan ia mengeluarkan seluruh kesaktian yang dimilikinya sampai keringat bercampur darah keluar dari tubuhnya. Namun tongkat milik orang tua itu tetap tidak bergeming. Tiba-tiba orang tua itu telah berada dihadapan Raden Kean Santang dan berkata mengapa lama sekali mengambil tongkatnya. Tanpa kesulitan orang tua itu mencabut tongkatnya yang tertancap di tanah.

    Menyaksikan hal ini Raden Kean Santang kaget dan sadar bahwa orang tua yang menemani perjalanannya selama ini bukan orang sembarangan. Maka Raden Kean Santang bertanya siapakah orang tua tersebut, yang dijawab oleh orang tua itu bahwa ia adalah Sayidina Ali. Mendengar jawaban orang tua itu Raden Kean Santang semakin kaget. Akhirnya ia takluk dan memohon kepada Sayidina Ali untuk menjadikannya murid. Raden Kean Santang kemudian memeluk agama Islam dan belajar agama Islam di Mekkah.

    Singkat cerita sekembali dari Mekkah Raden Kean Santang berusaha untuk mengajak Ayahandanya dan seluruh rakyat pajajaran untuk mengikuti langkahnya, memeluk agama Islam. Akan tetapi Prabu Siliwangi menolak. Prabu Siliwangi memilih untuk tetap mengikuti agama leluhurnya.

    Lambat laun terjadi perdebatan mengenai perbedaan agama ini, bahkan lama-kelamaan menjadi percekcokan yang semakin meruncing. Untuk menghindari bentrokan fisik dengan anaknya sendiri, Prabu Siliwangi memilih meninggalkan keraton, pergi menuju pakidulan.

    Siliwangi dalam perjalanannya sempat menyeberangi sungai Cisadane. Kemudian menyusuri perbukitan ke arah selatan. Sesampainya di suatu bukit kecil, Siliwangi beristirahat sejenak sambil merasakan semilir angin yang menyejukkan. Kelak tempat ini disebut Pasir Angin (pasir dalam basa Sunda berarti bukit).

    Tak lama berselang Raden Kean Santang   mengetahui kepergian Ayahnya. Dia pun segera bergegas menyusulnya. Sementara Siliwangi di dalam perjalanannya merasa bakal dikejar oleh putranya. Di suatu tempat yang sunyi dia menyembunyikan totopongnya. Sekarang tempat ini dikenal dengan nama Lembur Totopong (totopong, sejenis iket kepala khas Sunda)

    Pengejaran Raden Kean Santang akhirnya sampai juga di tempat Siliwangi berada. Melihat putranya mengejar, Siliwangi pun segera bergegas menjauh dari Raden Kean Santang . Kejar-mengejar pun tak terhindarkan. Melihat gelagat Prabu Siliwangi tak kan terkejar olehnya, Raden Kean Santang memungut sebuah batu dan melemparkannya sekuat tenaga ke arah Siliwangi, tetapi luput. Batu tersebut jatuh ke tanah mengeluarkan bunyi "geblug". Tempat batu jatuh sampai sekarang dikenal sebagai Kampung Geblug.

    Lalu Raden Kean Santang melanjutkan pengejarannya. Sampailah ia di sebuah lembah dan dilihatnya ada sebuah batu cukup besar. Dia menaiki batu besar tersebut untuk melihat sekelilingnya. Ketika sedang berdiri di atas batu, dia merasa tak tahan ingin buang air kecil. Akhirnya Raden Kean Santang buang hajat kecil di atas batu itu.

    Tak begitu jelas kelanjutan dari cerita ini, tetapi di suatu lembah tak jauh dari Kampung Geblug terdapat sebuah batu besar yang di bagian atasnya ada gambar telapak kaki dan di dinding batu tersebut terdapat pula jalur aliran yang memanjang dari atas ke bawah batu. Diceritakan oleh masyarakat setempat bahwa tapak kaki di batu tersebut merupakan tempat berdirinya Raden Raden Kean Santang , sedangkan jalur memanjang ke bawah merupakan bekas aliran air seni putra Raja Pajajaran tersebut.

    Tentu saja cerita legenda di atas memiliki berbagai versi, hanya saja masyarakat di Desa Palasari Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor meyakini cerita tersebut terjadi di daerahnya. Toponimi Pasir Angin merupakan nama salahsatu bukit di wilayah ini. Tak jauh dari Pasir Angin ada kampung bernama Lembur Totopong, begitu pula Kampung Geblug. Bahkan batu tempat berdirinya Raden Raden Kean Santang hanya berjarak 400 meter dari Balai Desa Palasari.

     

    2.      Batu Geblug

    Lepas dari Legenda yang berkembang di masyarakat, faktanya memang ada sebongkah batu cukup besar di pinggir jalan Desa Palasari, tidak jauh dari aliran sungai Cihideung. Bagian bawah batu tersebut agak bundar dengan diameter sekitar 3 meter, tinggi kurang lebih 1,8 meter, hampir setinggi orang dewasa. Lebar batu kurang lebih 1,5 meter dan panjang kurang lebih 3 meter, serta bagian atasnya agak meruncing. Yang unik dari batu tersebut adalah memiliki bidang datar di salah satu dindingnya yang menghadap ke arah barat. Sisi sebelah kanan bidang datar itu dibatasi oleh satu jalur/lekukan sedalam kurang lebih 1 centimeter dan lebar kurang lebih 2 centimeter yang memanjang sampai ke dasar batu. Lekukan ini seperti terbentuk dari bekas kucuran air namun dengan ukuran yang lebih besar. Jalur inilah yang disebut oleh masyarakat sebagai bekas aliran air seni Raden Kean Santang.

    Bila diperhatikan secara seksama, tak akan ditemui adanya bekas telapak kaki di batu ini. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa di atas batu geblug ini dulunya ada jejak sepasang tapak kaki manusia. Masyarakat meyakininya sebagai jejak kaki Raden Kean Santang.

    Menilik penampakan batu geblug, tidak dapat dipungkiri bahwa batu ini merupakan sebuah artefak yang memiliki unsur perbuatan manusia. Baik jalur "air seni", bidang datar di dinding, maupun gambar telapak kaki dibatu ini jelas telah dipahat oleh manusia. Cuma kapan hal ini dilakukan? Tentu agak sukar untuk menjawabnya.

    Mengingat ukuran batu geblug yang cukup besar, bisa diduga bahwa batu tersebut mulai bersinggungan dengan peradaban manusia ketika zaman megalitik. Kemungkinan besar batu monolit ini berfungsi sebagai pusat pemujaan arwah leluhur. Hal ini didukung oleh lokasinya yang tidak jauh dari aliran sungai dan memiliki dinding datar yang menghadap ke arah barat.

     

    3.      Raden Kean Santang dan Masuknya Islam

    Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Legenda bagi masyarakat, terlebih pada masyarakat tradisional, berfungsi sebagai alat legitimasi. Misalnya kisah Sang Kuriang bertujuan untuk membenarkan aturan larangan incest. Kisah itu selanjutnya diperkuat dengan bukti-bukti fisik untuk meyakinkan pendengarnya bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Pada legenda Sang Kuriang keberadaan Gunung Tangkuban Perahu menjadi bukti kebenaran cerita tersebut.

    Kisah Prabu Siliwangi dan Raden Kean Santang serta Batu Geblug merupakan kisah yang dibangun untuk melegitimasi proses Islamisasi di wilayah Bogor. Cerita ini berusaha untuk “membenarkan” bahwa masuknya Islam ke Bogor bukan dilakukan oleh pihak “luar”, akan tetapi dilakukan oleh orang Bogor (dari dalam). Padahal Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor Bagian I, mengatakan bahwa Panembahan Yusuf dari Banten yang telah mengakhiri “secara resmi” kerajaan Pajajaran, setelah berhasil menembus benteng Pajajaran berkat pengkhianatan dari orang dalam Pajajaran. Dan proses penyerangan yang dilakukan Panembahan Yusuf untuk mengakhiri kekuasaan Pajajaran dan munculnya kembali Bogor sebagai sebuah wilayah berpenduduk memiliki jeda hampir satu abad. Maka, proses Islamisasi Bogor dalam Legenda Raden Kean Santang hanyalah sebuah pembenaran, sebab faktanya proses tersebut sampai saat ini masih sangat kabur.

    Legenda Raden Kean Santang  ini pun menekankan bahwa proses Islamisasi di Bogor dilakukan melalui jalan damai (bukan lewat penaklukan atau peperangan) kalaupun ada itu hanya perselisihan (konflik)  dalam keluarga (antara Ayah/Prabu Siliwangi dan Anak/Raden Kean Santang), maka dalam proses Islamisasi di Bogor tidak ada pihak yang menang atau yang kalah. Yang terjadi adalah “kelegowoan” generasi tua/lama (ayah) menghadapi arus perubahan yang dibawa generasi muda (anak).  Padahal faktanya jika penyerangan yang dilakukan oleh Hasanudin dan dilanjutkan putranya panembahan yusuf dari Banten diartikan sebagai kelompok Islam yang berhasil mengakhiri kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang mewakili agama dan kebudayaan Hindu. Maka, proses Islamisasi di Bogor tidak dilakukan melalui jalan damai akan tetapi melalui penaklukan dan peperangan.

     

     

    DAFTAR SUMBER

     

    Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor Bagian I, Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor

    Firmansyah, Irman. 2016. Soekaboemi The Untold Story : Kisah Dibalik Sejarah Sukabumi. Paguyuban Soekaboemiheritages

    Astari, Hendra. 2010. Dibalik Legenda Batu Geblug. http://napaktilasbogor.blogspot.com/2010/04/?view=sidebar

    https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda

    https://www.facebook.com/1496723333908265/posts/situs-batu-kursi-desa-sukaharja-kurang-terawatkabupaten-bogor-sejarah-patilasan-/1526870150893583/

    https://www.kompasiana.com/diella/58da7381377b6199079c87c3/calobak-3-situs-tua-di-punggungan-gunung-salak?page=all

    Sumber Lisan :

    1.      Bapak Eman K Warga Kampung Geblug, Wawancara tanggal 23 Oktober 2019

    2.      Bapak Santoso, Kepala Desa Sukaharja, Wawancara tanggal 24 Oktober 2019

    3.      Bapak Kanta, Warga Kampung Pasir tengah, Wawancara tanggal 24 Oktober 2019

    4.      Bapak Idik, Ketua RT kampung Pasir Tengah Wawancara tanggal 24 Oktober 2019

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Saya adalah Guru Sejarah di Sekolah Menengah Atas, tertarik pada Kajian Sejarah, Teater dan Sastra serta ilmu-ilmu Humaniora