Oleh Dwiyoso Nugroho
Siang itu, ruang Laboratorium Kimia SMAN 1 Cijeruk terasa berbeda. Bukan aroma zat kimia yang menyeruak, melainkan asa dan harapan yang memenuhi ruangan. Lebih dari 70 siswa berseragam pramuka, dengan tatapan serius, menyimak kisah dari dua alumni sekolah mereka— Dede Rahma, SE. dan Dzahra Novita A., S.Pd. Jam menunjukkan pukul 10.45 WIB. Di hadapan mereka, 2 orang alumni Universitas Siliwangi Tasikmalaya ini, memaparkan pengalaman hidup mereka yang maknanya setara dengan lirik-lirik lagu Bernadya.
Dede Rahma (Dera) dan Dzahra bukanlah anak-anak dari keluarga yang berkecukupan. Mereka tumbuh dalam keterbatasan, namun tidak pernah membiarkan batasan itu menghalangi mereka meraih mimpi. Berkat beasiswa Bidikmis, atau kini lebih dikenal dengan KIP Kuliah, mereka berhasil mengenyam pendidikan tinggi, sebuah pencapaian yang dulunya mungkin hanya impian samar di kejauhan.
Kisah mereka bukan sekadar cerita sukses pribadi. Lebih dari itu, kisah ini menjadi cerminan bagi para siswa di ruangan itu, yang sebagian besar mungkin merasakan keresahan yang sama, mimpi yang besar yang dibatasi realitas ekonomi. Paparan Dera dan Dzahra tentang perjuangan kuliah membuka cakrawala para siswa yang hadir. Mereka menunjukkan bahwa impian bisa digapai, bahkan dengan segala keterbatasan.
Sarasehan ini diinisiasi oleh Tim Pengembangan Karier SMAN 1 Cijeruk, sebuah tim yang dibentuk secara ad hoc untuk membantu siswa merancang dan mewujudkan cita-cita mereka. Tim Pengembangan Karier terdiri dari Dwiyoso Nugroho, Nurrizki Febriani dan Siti Yulianita Utami, guru-guru di SMAn 1 Cijeruk. Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian panjang yang sudah dimulai sejak awal tahun ajaran 2024/2025, diawali dengan survei karier yang hasilnya disosialisasikan kepada orang tua. Kini, pada Kamis, 19 September 2024, sarasehan menjadi momen penting dalam perjalanan panjang para siswa ini merancang masa depan.
Mendengarkan cerita Dera dan Dzahra, saya teringat pada kisah rapat awal pembentukan Budi Utomo pada akhir tahun 1907. Budi Utomo adalah organisasi yang didirikan oleh para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di bawah pimpinan R. Soetomo. Sebelum pendirian Budi Utomo, terjadi pertemuan antara dr. Wahidin Sudirohusodo dengan R. Soetomo dan M. Soeradji di gedung STOVIA. Dalam pertemuan tersebut, dr. Wahidin menyampaikan ide-ide untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui “studiefonds” atau dana pendidikan. Setelah organisasi itu berdiri, Budi Utomo bertujuan untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik, industri, dan menghidupkan kembali kebudayaan. Dari kisah ini nampak jelas bahwa para pemuda-pemuda telah memikirkan nasib bangsanya. Bagaimana bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang terhormat dan hidup sejahtera.
Ada kesamaan yang tak terbantahkan, antara pemuda Soetomo dengan remaja-remaja berseragam pramuka ini. Mereka memiliki semangat yang juga membara untuk mengubah nasib. Bedanya, perjuangan para pemuda zaman dulu adalah untuk kemerdekaan, sementara para siswa ini berjuang untuk masa depan mereka, namun tetap terikat pada impian besar bangsa, memiliki kedudukan yang sama terhormat dengan bangsa-bangsa yang lain melalui pendidikan.
Seperti rapat-rapat Boedi Oetomo yang mengubah sejarah Indonesia, mungkin, dari Laboratorium Kimia ini, akan lahir generasi baru yang kelak mengubah wajah negeri. Mungkin di antara siswa-siswa yang berseragam coklat ini, ada pemimpin-pemimpin masa depan yang membawa perubahan.
Kegiatan ini bukan hanya sarasehan, bukan sekadar obrolan tentang biaya kuliah. Ini adalah mimpi yang dipertemukan dengan kenyataan. Fakta bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, dan bahwa dengan tekad yang kuat, setiap mimpi bisa terwujud. Mereka hanya butuh satu hal: keberanian untuk bermimpi, dan keberanian untuk mengejarnya. Life is a struggle. Hidup adalah perjuangan atau Het leven is een strijd dalam bahasa Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar