• Metode dan Metodologi Sejarah : Dari Empirisme sampai Fenomenologi

     


    Guru Sejarah

    Ilmu Sejarah dibedakan antara penelitian sejarah (metode sejarah) dan penulisan sejarah (eksplanasi) yang membutuhkan metodologi. Metode sejarah lebih menekankan pada penelitian, cara-cara bagaimana sumber-sumber didapatkan, sedangkan metodologi lebih menekankan pada kegiatan ekplanasi (penulisan sejarah). Metodologi dapat diartikan sebagai cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara saksama. Penggunaan metodologi dalam penggarapan sejarah merupakan hal yang mutlak, jika tidak penulisan sejarah akan terjebak pada karya sejarah naratif. Tidak mungkin seorang sejarawan akan membentuk sebuah karya besar dalam sejarah jika tidak disertai dengan pemahaman yang baik tentang metodologi sejarah.

    Metodologi dalam setiap ilmu pengetahuan akan terus mengalami perkembangan. Perkembangan metodologi beriringan pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Demikian pula dengan sejarah, perkembangan metodologi sejarah telah melahirkan kajian yang disebut filsafat sejarah.

    Filsafat sejarah berperan sebagai kerangka fikir dalam memandang dan mengkritisi peristiwa sejarah dengan harapan sejarah yang ditulis lebih ilmiah dan objektif, tidak bernuansa mitologis seperti yang terjadi pada penulisan teks-teks dan naskah kuno. Untuk itu filsafat sejarah dalam hal ini memberi jalan/arah pada metodologi agar dapat membangun sebuah narasi sejarah yang dapat dibenarkan. Akan tetapi, perkembangan tidak lepas dari pro dan kontra, terkait paradigma/pendekatan apa, atau filsafat sejarah apa yang dapat menjadi dasar dalam upaya penjelasan sejarah. Dalam hal ini terdapat tiga aliran filsafat yang perlu direfleksikan untuk mengetahui bagaimana perkembangan metodologi sejarah, yakni Positivisme, Idealisme dan Fenomenologi.

    Positivisme

    Aliran atau faham yang akan coba diuraikan pertama kali adalah Positivisme. Rofiq (2014 : 64) mengatakan Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif. Positivisme akan mengesampingkan  sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan. Kecenderungan ini merupakan andil empirisme dalam filsafat positivisme, bahwa kebenaran harus berangkat dari fakta atau kenyataan. Selanjutnya positivisme menekankan penggunaan metode-metode  ilmiah dalam mencari kebenaran merupakan hal mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Selain itu eksperimen dan ukuran-ukuran tertentu menjadi hal yang sangat diperlukan. Hal ini nampak jelas pada pendapat August Comte, tokoh utama dalam aliran positivism, bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.

    Lebih jauh, Arditya Prayogi (2021) mengatakan Positivisme dalam ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Semangat ini menyajikan pengetahuan yang universal, terlepas dari soal ruang dan waktu. Pandangan ini sepertinya berusaha menjauhkan ilmu dari intervensi mitos, agama dan kepercayaan. Fakta pembunuhan adalah pembunuhan lepas dari apakah perbuatan tersebut perbuatan buruk atau dilandasi oleh keterpaksaan atau disengaja. 

    Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa positivisme merupakan faham yang bersumber dari fakta atau kenyataan yang bebas dari beban nilai, moralitas atau praktik social lainnya. Selain itu positivism menitik beratkan perlunya penggunaan metode ilmiah, ekperimen dan ukuran-ukuran dalam menemukan kebenaran.

    Pengaruh Positivisme pada Metodologi Sejarah

    Andil faham positifis terhadap perkembangan metodologi sejarah dapat terlihat dari penggunaan metode santifik dalam penelitian sejarah. Kaum positivis abad ke 19 mencari metode baru yang akan menempatkan sejarah dalam basis saintifik yang kuat. Mereka kemudian menentukan bahwa sejarah seharusnya menjadi pendekatan yang menghindari sebuah karya yang tidak kritis dan pasti sebagaimana yang dihasilkan sejarawan sebelumnya. Kaum positivis menegaskan bahwa semua sumber dievaluasi secara kritis dengan penekanan pada penggunaan sumber primer sebagai bukti kunci (Prayogi : 2021)

    Positivisme memberikan standar keilmiahan dalam sejarah dengan berbagai indikator seperti: pertama, penyelidikannya ilmiah secara metodologi dan berhubungan secara sistematis. Kedua, terdiri dari sekelompok besar kebenaran-kebenaran umum. Ketiga, metode ilmiah harus dapat membuat ramalan-ramalan yang gemilang sehingga menguasai jalannya peristiwa-peristiwa di masa datang. Keempat, sifatnya objektif, yaitu setiap orang yang menyelidiki sejarah tidak berprasangka atau pun melibatkan kesenangan-kesenangan pribadi atau keadaan-keadaan pribadinya ketika buktinya itu diperhadapkannya.

    Bagi kaum positivis untuk menerangkan masa lampau/sejarah, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, mengandalkan pola hukum umum sebab akibat. Kedua, peristiwa-peristiwa tersebut dan segala akibatnya dapat diamati dalam perjalanan waktunya, menunjukkan suatu pola hukum empiris (pengamatan), yang tidak serta merta benar secara logika. Semua pola hukum umum yang muncul dari fenomena yang diamati harus dikonfirmasikan oleh semua fakta yang tidak berlawanan dengan fakta tesebut. (Prayogi : 2021)

    Idealisme

    Faham kedua yang akan dipaparkan yaitu idealisme. Rofiq (2014 : 61) mengatakan bahwa idealisme adalah salah satu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah “idealisme” diambil dari kata “idea” yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Filsafat idealisme berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari keadaan sesuatu. Prayogi (2021) mengatakan bahwa kaum Idealis beranggapan bahwa alam semesta ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada manusia yang punya kecerdasan dan kesadaran atas keberadaannya. Materi apapun ada karena diindra dan dipersepsikan oleh otak manusia. Waktu dan sejarah baru ada karena adanya gambaran mental hasil pemikiran manusia. Dahulu, sekarang atau nanti adalah gambaran mental manusia. Keunikan manusia terletak dalam fakta bahwa manusia memberikan makna-makna simbolik bagi tindakan-tindakan mereka.

    Hal ini, tentunya berlawanan dengan positivism yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta dan hal yang bersifat mekanistik. Sebaliknya, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis. Jika positivism bebas nilai maka idealisme adalah aliran filsafat yang tidak bebas nilai. Dalam idelisme yang nyata adalah idea, sebab citra adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (citra) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan, yaitu dunia idea.

    Pengaruh Idealisme pada Metodologi Sejarah

    Pengaruh faham idealisme dalam perkembangan metodologi sejarah dapat dilihat dari Nampak dari cari cara kaum idealis dalam memandang peristiwa sejarah sebagai peristiwa yang unik, individual dan tidak dapat berulang atau hanya terjadi satu kali. Oleh karena itu kaum idealis mengatakan bahwa sejarahwan harus menghidupkan kembali atau memikirkan kembali peristiwa sejarah itu dari “dalam”. Tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh sejarah di masa lalu perlu didekati melalui proses empati intelektual. Sejarahwan masuk ke dalam alam fikir tokoh-tokoh yang diteliti untuk mengetahui alasan, motif dan latar belakang ideologis mengapa tokoh-tokoh tersebut bertindak dan kemudian menggerakan sejarah. Maka, subjek permasalahan sejarah harus didekati oleh sejarahwan melalui cara meneliti sesuatu yang unik, individual dan bukan hanya sekedar pola-pola umum atau hukum-hukum yang bersifat general sebab pemahaman atas sejarah bagi kaum idealisme tidak dapat dijelaskan dengan cara-cara generalisasi, tetapi dengan cara-cara yang lebih detail. Walsh (dalam Prayogi : 2021) mengatakan bahwa Kriteria untuk memahami hubungan antara peristiwa-peristiwa menurut kaum idealis terdiri dari dua dalil. Pertama, bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dipahami melalui mempelajari alam-alam pikiran dan pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, pengertian sejarah adalah bersifat unik dan langsung atau dekat.

    Fenomenologi

    Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi sesuai dengan namanya, adalah ilmu (logos) mengenai sesuatu yang tampak (phenomenon). Dengan demikan, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakan dari apa saja merupakan fenomenologi

    Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi menjabarkan langkah-langkah yang harus diambil hingga sampai pada fenomena yang murni. Dalam hal filsafat, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia (Bagus, 2002:234). Fenomenologai adalah studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran, atau cara memahami suatu objek atau peristiwa dengan mengalaminya secara sadar (Littlejohn, 2003:184). Namun, bagi Brouwer (1984:3), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatu metode pemikiran.

    Fenomenologi berbeda dengan positivisme, juga idealisme. Di satu sisi, fenomenologi percaya bahwa dunia itu ada, real, faktual. Dunia, dengan segala isinya, itu nyata ada, tanpa pengaruh kehadiran pikiran manusia. Ada  atau tidak ada manusia, kita berpikir atau tidak, dunia itu hadir sebagaimana adanya. Tetapi fenomenologi tidak sama dengan positivisme yang hanya percaya atas fakta atau kenyataan  sebagai hal objektif terpisah dari kesadaran. Di sisi lain, fenomenologi  juga mengajarkan bahwa kenyataan muncul dalam    proses aktif dalam kesadaran, tetapi tidak sama seperti idealisme yang menafikan realitas objektif .

    Fenomenologi berkaitan dengan penampakan suatu objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi kita. Pengetahuan berasal dari pengalaman yang disadari, dalam persepsi kita. Dalam hal ini, fenomenologi berarti  membiarkan sesuatu datang mewujudkan dirinya  sebagaimana adanya. Dengan demikian, di satu sisi, makna itu muncul dengan cara membiarkan realitas/fenomena/pengalaman itu membuka dirinya. Di sisi lain, makna itu muncul sebagai hasil interaksi antara subjek dengan fenomena yang dialaminya.

    Intisari fenomenologi dikemukakan Stanley Deetz (dalam Littlejohn dan Foss, 2005:38). Pertama, pengetahuan adalah hal yang disadari. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan langsung dalam pengalaman kesadaran. Kedua, makna dari sesuatu terdiri dari potensi-potensi dalam kehidupan seseorang. Bagaimana hubungan seseorang dengan suatu objek akan menentukan bagaimana makna objek itu bagi yang bersangkutan. Ketiga, bahasa merupakan sarana bagi munculnya makna. Kita mengalami dunia dan mengekspresikannya melalui bahasa.

    Pengaruh Fenomenologi pada Metodologi Sejarah

    Fenomenologi secara nyata telah memberikan warna pada perkembangan metodologi sejarah. JIka positivisme telah berjasa memberikan standar keilmiahan dalam sejarah dan berusaha menemukan kebenaran-kebenaran yang bersifat umum dan terlepas dari mitos dan praktik sehari-hari. Kemudian Idealisme berusaha mengungkap kebenaran yang tidak dapat ditemukan dalam fakta-fakta, kebenaran tersembunyi yang hanya dapat dilihat secara “mendalam” melalui empati intelektual pada tokoh-tokohnya. Sedang, fenomenologi tidak berpretensi untuk menolak keduanya, namun berusaha untuk memotret peristiwa sejarah sebagai sebuah gejala (fenomen) atau kenyataan yang ditangkap oleh kesadaran manusia. Fenomenologi tetap berangkat dari kenyataan yang merupakan gejala yang nampak dan empiric, namun juga tetap berusaha untuk menemukan makna dari peristiwa-peristiwa tersebut bagi manusia (kesadaran).

    Sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian, fenomenologi berangkat asumsi bahwa eksistensi suatu realitas tidak orang ketahui dalam pengalaman biasa. Fenomenologi membuat pengalaman yang dihayati secara aktual sebagai data dasar suatu realitas. Fenomenologi juga mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik dari gejala sebagaimana gejala itu menyingkapkan dirinya pada kesadaran melalui bahasa. Dengan demikian fenomenologi dapat dikatakan sebagai lukisan gejala dengan menggunakan bahasa. Dalam pendekatan fenomenologi, sejarahwan berasumsi bahwa setiap tokoh sejarah mengalami suatu fenomena dengan segenap kesadarannya, kemudian, sejarahwan berusaha untuk menggali kesadaran terdalam para tokoh tersebut mengenai pengalamannya dalam suatu peristiwa.

     

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Saya adalah Guru Sejarah di Sekolah Menengah Atas, tertarik pada Kajian Sejarah, Teater dan Sastra serta ilmu-ilmu Humaniora